Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Khutbah Jumat Singkat

­­Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan nikmatnya kepada kita semua sehingga kita masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan hari Jumat untuk menunaikan ibadah shalat Jumat di masjid Al- Mannar Muhajirin Lingkungan Pemancar.

Shalawat serta salam kita curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, dengan ucapan “Allahhumma solli’ala saidina Muhammad wa’ala ali saidina Muhammad”.

Ma’asyiral Muslimin rakhimakumullah.

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk terbaik. Ia diciptakan dengan bentuk fisik yang indah, juga diberi software atau perangkat lunak yang sempurna, seperti akal pikiran, rasa, dan karsa atau kehendak. Manusia berbeda dari makhluk Allah lainnya. Malaikat misalnya diciptakan hanya memiliki akal tanpa diberi syahwat dan nafsu. Hewan dibekali syahwat sehingga hidupnya hanya mengikuti keinginan kebutuhan badannya yaitu makan, minum, berhubungan badan dan segala keinginan yang bersifat jasmaniah. Sementara setan diciptakan hanya dengan bekal nafsu sehingga sepanjang hidupnya selalu ingkar akan nikmat Allah SWT.  Manusia, sebagaimana disebutkan dalam surat At-Tiin ayat 4 diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya:  

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Manusia diciptakan dengan segala sesuatu yang dikaruniakan kepada malaikat, hewan dan setan, yakni berupa akal pikiran, syahwat, dan hawa nafsu. Oleh karena itu, kehidupan umat manusia lebih dinamis, karena manusia berjuang dalam tarikan antara ketiganya.

Ma’asyiral Muslimin rakhimakumullah.

Manusia bisa menjadi seperti malaikat apabila manusia itu hanya tunduk dan patuh pada Allah, manusia juga bisa seperti hewan apabila manusia itu hanya mementingkan keinginan jasmaninya, atau bahkan manusia bisa seperti setan apabila manusia itu hanya mengumbar hawa nafsunya. Sebagai makhluk ciptaan dalam bentuk terbaik, manusia dikaruniai empat hal sebagai permata dalam dirinya. Empat permata ini disebutkan Rasulullah dalam hadistnya, sebagaimana dikutip oleh Ihya’ Ulumiddin.

 قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعَةُ جَوَهِرَ فِيْ جِسْمِ بَنِيْ اَدَمَ يُزَلُهَا اَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ اَمَّا الْجَوَاهِرُ فَالْعَقْلُ وَالدِّيْنُ وَالْحَيَاءُ وَالْعَمَلُ الْصَّالِحُ

Rasulullah SAW bersabda, “Ada empat permata dalam tubuh manusia yang dapat hilang karena empat hal. Empat permata tersebut adalah akal, agama, sifat malu, dan amal salih”.

 

Ma’asyiral Muslimin rakhimakumullah.

Permata yang pertama adalah akal. Akal adalah alat untuk memahami agama. Agama adalah rambu-rambu atau aturan yang memberikan arah pada manusia, dan amal salih adalah buah dari akal yang telah memahami agama dengan pengendalinya berupa sifat malu. Akal menjadi pemimpin dalam tubuh manusia untuk memahami mana yang hak dan batil, mana yang patut ataupun tidak, mana yang harus dikerjakan ataupun ditinggalkan.

 

Maasyiral Muslimin rakhimakumullah.

Permata kedua yang dikaruniakan Allah kepada manusia adalah agama. Agama adalah aturan atau norma yang mengarahkan akal manusia untuk menerima hal-hal yang baik, layak dan pantas. Agama menjadi pedoman bagaimana manusia menjalani kehidupannya serta bagaimana mengendalikan syahwat dan nafsu. Akal sehat akan mengarahkan kita dapat menerima agama yang hanif atau lurus, yakni agama Islam, agama yang mampu memberikan ketenangan lahir batin dan dapat melahirkan sifat malu, serta membuahkan amal salih. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surah Ali ‘Imran ayat 19:

 

Artinya:

“Sesungguhnya satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah hanyalah Islam”

Dan juga dalam Surat Ali ‘Imran ayat 85 Allah menerangkan:

 

Artinya:

“Dan barang siapa mencari selain agama Islam untuk ia peluk, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”

Permata yang ke tiga kata Rasulullah adalah malu. Malu merupakan sifat yang dikembangkan oleh agama untuk mengendalikan perilaku manusia, yang dapat membedakan kita dengan hewan ataupun setan. Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani membagi malu menjadi dua, yakni haya’un nafsiyun dan haya’un imaniyun. Haya’un nafsiyun adalah rasa malu yang diberikan Allah pada setiap manusia, seperti rasa malu memperlihatkan auratnya dan sejenisnya. Sifat ini tidak diberikan pada hewan.

Sementara haya’un imaniyun adalah sifat malu yang hanya diberikan pada orang mukmin yakni sifat malu yang terintegrasi dengan akal sehingga mereka mampu menggunakan akalnya untuk memahami perintah dan larangan Allah. Karena itu, wajar jika Rasulullah pernah memberikan nasihat kepada sahabatnya dengan mengatakan:

  اَلْحَيَاءُ مِنَ الْاِيْمَانِ

 “Malu itu sebagian dari iman.”

Malu untuk berbuat maksiat, malu meninggalkan perintah agama, malu tidak berbuat baik dan lain sebagainya. Namun kenyataannya, kini kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan sebagian manusia sudah benar-benar tidak punya rasa malu, bahkan lebih sesat dari binatang, aurat saja bahkan sudah dipertontonkan dengan menggunakan kecanggihan teknologi, harga diri dijual menjadi ajang komoditi, praktik korupsi, penipuan merajalela dan lain sebagainya. Kemana hilangnya rasa malu pelaku kebiadaban moral saat ini?

Maasyiral Muslimin rakhimakumullah.

Permata yang terakhir yang dimiliki manusia adalah amal shalih, yakni perbuatan yang patut dan baik menurut kaidah agama. Amal shalih adalah buah dari kemampuan kita memahami agama, menjalankan perintah agama, serta kemampuan kita mengendalikan sikap dalam kehidupan. Banyak orang mampu memahami agama atau mengerti ilmu agama, tetapi tidak mampu mengendalikan syahwat dan nafsunya, sehingga ia tidak memiliki rasa malu, maka ia hanya bisa melakukan sesuatu yang hanya berorientasi pada kebutuhannya yang kadang merugikan orang lain.

Contoh sederhana yang dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari, betapa banyak orang pandai agama tetapi tidak mampu mengendalikan diri, sehingga ia bukan mengamalkan ilmu agama, namun hanya memperalat atau mengatasnamakan agama untuk mengambil keuntungan guna kepentingan pribadi atau kelempoknya. Maka akibat yang timbul dari itu bukan amal shalih tetapi justru maksiat. 

Maasyiral Muslimin rakhimakumullah.

            Demikianlah khutbah singkat ini mudah-mudahan memberi manfaat bagi khatib sendiri dan bagi kita semua.